Social Responsibility

 

  • in-01
  • wordpress slider plugin
  • in-04
in-011 in-022 in-033

CSR

Tiwingan TIA, New Destinations of South Kalimantan
30 Jul

(Only in Bahasa) Puluhan perahu bermotor berkumpul di sebuah dermaga sederhana yang terbuat dari kayu. Perahu bermotor yang dikenal dengan sebutan klotok ini seakan selalu siap mengantarkan siapapun sesuai kebutuhannya. Di sebuah danau buatan atau waduk di gugusan pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, puluhan perahu ini beroperasi setiap harinya.
Tidak ada yang luar biasa dari keberadaan perahu-perahu tersebut di dermaga kecil ala kadarnya. Perahu-perahu ini dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di pinggiran waduk Riam Kanan. Bagi masyarakat desa Tiwingan Lama, Kecamatan Aranio, Banjar, Kalimantan Selatan, waduk ini dan juga wilayah sekitarnya merupakan sumber mata pencaharian mereka. Lebih dari 400 Kepala Keluarga menggantungkan hidupnya dari danau buatan ini dan hutan di sekitarnya.
Masyarakat Tiwingan, kesehariannya memelihara ikan di waduk dengan sistem keramba. Klotok, digunakan sebagai alat transportasi dan juga sekaligus disewakan bagi siapa saja yang membutuhkan. Sebagian lainnya, mengandalkan hutan yang terletak di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam dengan menebang pohon-pohon di dalamnya.
“Dulu saya kerjanya mencari kayu di hutan. Kayu kami tebang dan kami jual. Cukup untuk beberapa hari, dan setelah duitnya habis, kembali lagi menebang hutan. Cuma itu yang bisa kami lakukan. Karena kami tidak memiliki kebun atau kemampuan lainnya dalam mencari nafkah,” ungkap seorang pemuda desa, Ahmad Yani yang sejak lahir berdomisili di Tiwingan.
Saat ini, kondisinya sudah jauh berbeda. Masyarakat tidak lagi menebang pohon secara sembarangan dan menjualnya guna menopang hidup. Di bawah bimbingan tim Tunas Inti Abadi (TIA), secara bertahap kawasan ini dapat dieksploitasi secara positif. Masyarakat mulai menyewakan klotoknya bagi wisatawan yang datang guna menikmati keindahan alam Tahura Sultan Adam. Selain itu, warga juga melakukan pembibitan, penanaman dan juga perawatan tanaman di Tahura. 
Potensi wisata di Tahura Sultan Adam sungguh sangat luar biasa. Dengan menempuh perjalanan yang sedikit berkelok dari Banjarmasin, Ibukota Kalsel, wisatawan dapat menjamah area ini dalam waktu lebih kurang 1 jam, atau bahkan kurang, bergantung pada kepadatan lalu lintas. Dengan kondisi jalan yang cukup baik dan beraspal, mencapai Tiwingan tidaklah menjadi kendala. Kendala satu-satunya hanyalah belum adanya angkutan umum yang sampai ke lokasi ini, yang terletak sekitar 38 Km dari Bandara Sjamsoedin Noor, Banjarbaru.
Di penghujung jalan, sebuah desa kecil yang terkesan padat akan menyambut. Deretan rumah-rumah kayu yang sederhana dan berdempeten, menggambarkan kesederhanaan para penghuninya dengan tingkat ekonomi yang tergolong biasa. Di ujung jalan, wisatawan dapat menyewa klotok dengan harga Rp.250 ribu – Rp.350 ribu seharinya guna berkeliling kemanapun yang diinginkan di seputaran waduk Riam Kanan. Atau dengan Rp.50 ribu per oranya dengan perjanjian tertentu. Semua berdasarkan negosiasi antara pemilik perahu dan wisatawan.
Setelah menaiki klotok, pelancong dapat berkeliling danau yang luasnya mencapai ribuan hektar ini. Udara sejuk dan angin yang menyapa lembut akan menemani perjalanan berkelilig danau. Sepanjang mata memandang, hamparan perbukitan yang mulai hijau akan memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Sesekali, jejeran keramba apung pun akan menyambut para wisatawan di tengah danau buatan ini. Masyarakat, mengandalkan keramba guna memenuhi kebutuhan lauknya sehari-hari. Di dalam keramba apung ini, ikan mas dan nila serta yang lainnya terlihat memadati keramba.
Usai menegelilingi danau, pengunjung dapat menikmati pilihan pemandangan yang berbada. Mendaki perbukitan dan berada di puncaknya, merupakan pengalaman yang sayang untuk dilewatkan. Untuk menuju ke puncak bukit, ada dua alternatif rute yang dapat dilalui. Alternatif pertama yaitu menggunakan kapal kelotok, baru naik menuju puncak bukit. Atau dari desa mendaki dengan tantangan yang lebih tinggi.
Rute pertama cukup mengasyikkan karena wasatawan akan diajak untuk menyusuri danau dengan riak yang tenang sebelum menjelajah kaki bukit. Jarak ke puncak bukit dari dermaga Tiwingan TIA pun tidak terlalu jauh. Sedangkan opsi kedua nampaknya lebih cocok untuk penyuka kegiatan fisik berbalut petualangan. Rute ini mengharuskan pengunjung untuk melakukan “hiking” di sepanjang kaki bukit dengan sudut elevasi hampir mencapai 60 derajat. Di beberapa titik yang cukup sulit untuk dilalui, disediakan tali tambang untuk membantu pengunjung.
Mendekati puncak bukit, wisatawan akan memasuki kawasan Rehab DAS TIA yang lebih dikenal kawasan Tiwingan TIA. Di lokasi inilah, berbagai pandangan eksotis dapat disaksikan oleh para wisatawan. Di kawasan Tiwingan TIA, panorama terbaik dari puncak bukit akan tersaji di kala matahari terbit. Kehangatan cahaya jingga sinar mentari di ufuk timur berpadu pendar hijaunya air waduk serupa kilau intan menyajikan pemandangan yang spektakuler.
Banyak pengunjung yang sengaja mengejar momen ini sehingga tak jarang di antara mereka memilih untuk bermalam di puncak bukit. Syaratnya, pengunjung harus tetap menjaga kebersihan dan batas norma kesusilaan. Kawasan ini kerap disebut sebagai Raja Ampatnya Kalimantan Selatan karena kemiripan panoramanya.
Di lokasi inilah, TIA melakukan kegiatan rehabilitasi atau penghijauan bersama masyarakat sekitar. Kawasan yang penuh dengan potensi ini, yang dulunya gundul akibat penembangan liar, mulai ditanami sejak 2014 lalu. Dibantu oleh warga sekitar, perlahan tapi pasti, kawasan Tiwingan TIA seluas sekitar 1.000 Hektar mulai hijau kembali.
“Lebih dari 200 Kepala Keluarga terlibat dalam proses penghijauan ini. Ini artinya, setengah warga desa ikut ambil bagian bersama TIA mengelola kawasan untuk dihijaukan kembali. Saat ini, kami memang mengandalkan upah yang diberikan dari TIA kepada kami untuk melakukan pembibitan, penanaman dan juga perawatan sesuai dengan bimbingan dan perencanaan TIA. Tapi ke depan, beberapa tahun mendatang, dengan pohon-pohon yang ditanami seperti Mahoni, Karet, Kemiri, Durian, Cempedak, dan Jengkol, masyarakat dapat hidup dari hasil tanaman tersebut,” jelas Ahmad Yani selaku Ketua Lembaga Masyarakat Desa Tahura-TIA.
Harapan ini tidaklah muluk-muluk. Setelah bergabung dengan program TIA, tidak ada lagi warga yang melakukan penebangan liar. Apalagi jika setelah hutan yang ditanami memiliki nilai ekonomis tinggi. Selain itu, potensi wisata pun sangatlah menjanjikan.
Kenikmatan ikan bakar air tawar racikan ibu-ibu desa Tiwingan, menjadi pelengkap keindahan destinasi Wisata Tiwingan TIA. “Ikan bakar dan sop ikan bikinan ibu-ibu di sini sungguh luar biasa nikmatnya. Sayang kalau dilewatkan jika kita bertandang ke lokasi ini,” kesan Direktur TIA Dadik Kiswanto yang menyempatkan diri mampir dan mengevaluasi perkembangan program yang dijalankannya.